standar


“pak, pak, itu standarnya, pak.”

“oh, terima kasih, dek.”

dialog di atas, terjadi di jalanan, ketika ada pengendara motor yang lupa melipat standar motornya, padahal motornya sudah berjalan. dari dialog singkat tersebut, kita bisa memetik beberapa hal sbb:

1. orang yang melihat, tau bahwa si bapak itu melakukan kelalaian.

2. orang itu mengingatkan bapak tersebut, meskipun dia tidak mengenalnya.

3. si bapak menyadari kelalaiannya.

4. si bapak segera memperbaiki kelalaiannya.

5. si bapak berterima kasih kepada orang yang telah mengingatkannya.

hal itu, dulu, sering kita jumpai. sebuah hal yang sangat wajar memang, dan secara sepakat disetujui oleh seluruh orang di dunia, bahwa bapak itu memang lalai, dan orang yang mengingatkannya pun sudah sepantasnya begitu.

sekarang, lalai menjadi hal yang bias. betapa banyak orang yang lalai, kemudian diingatkan oleh orang lain, namun bukannya memperbaiki kelalaiannya, malah mengejek orang yang mengingatkannya. boro-boro mengucapkan terima kasih.

dulu, saat lingkungan saya masih cukup homogen, rasanya sangat jelas mana yang lalai, mana yang tidak. namun kini, semuanya berubah dan membuat saya heran.

kok bisa sih, sesuatu yang seharusnya terlihat sangat jelas dan nyata sebagai sebuah kelalaian, masih ada yang membela? anehnya, yang membela ini bukan orang sembarangan. beberapa dari mereka berpendidikan tinggi.

saya bisa saja berfikir, oh, mungkin karena ilmu saya yang belum setinggi mereka, jadi belum tau apa sebenarnya di balik kelalaian tersebut. tapi, tidak sedikit orang-orang yang tidak kalah tinggi ilmunya, yang memang tetap menyatakan bahwa hal tersebut adalah kelalaian.

adanya dua kubu ini membuat beberapa orang menjadi gamang dalam memilih sikap. mudah diombang-ambing, tidak tau harus bagaimana, sehingga akhirnya membiarkan kelalaian terjadi, bahkan ikut ambil bagian dalam kelalaian itu.

ibaratnya, dulu semua orang setuju standar motor yang tidak dilipat ketika sedang berjalan adalah sebuah kelalaian, dan harus diingatkan. kini, ada yang membiarkan, bahkan sengaja malah menurunkan juga standar motornya ketika sedang berjalan, karena yang lain sudah banyak yang melakukan demikian. kalau dijabarkan kira-kira sbb:

1. orang yang melihat, tau si bapak melakukan kelalaian, tapi, ada orang lain yang mengatakan itu bukan kelalaian.

2. orang itu mengingatkan bapak tersebut, kadang juga dia diam saja karena jadi ragu itu kelalaian atau bukan.

3. si bapak tidak mau diingatkan, karena menurutnya itu bukan kelalaian.

4. si bapak tidak memperbaiki kelalaiannya.

5. beberapa orang lain mengikuti kelalaian bapak tersebut karena mengira itu adalah sebuah tren baru.

6. orang yang mengingatkan tadi dihina, ditertawakan, dirundung.

7. terjadilah banyak kecelakaan, bukan hanya memakan korban dari kalangan yang melakukan kelalaian, tapi yang di sekitarnya pun bisa ikut terimbas.

di saat seperti ini, saya merasa bersyukur dulu saya pernah berada di lingkungan yang cukup homogen, yang melihat suatu kelalaian, sebagai suatu kelalaian, titik. secara sederhana, tanpa ada pembiasan dan pengaburan. mau untuk kreativitas, kek. mau untuk kebebasan, kek. mau untuk hiburan, kek. mau untuk investor, kek. kelalaian ya tetap kelalaian.

karena itu semua memang sudah nampak jelas di depan muka kalian, itu tuh kelalaiaan. persis seperti standar motor yang lupa dilipat ketika sudah berjalan.

itu sudah lalai yang sebenar-benar kelalaian, kawan. kok kalian bisa buta sih???

خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ – 2:7

Allah has set a seal upon their hearts and upon their hearing, and over their vision is a veil. And for them is a great punishment.

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.

Leave a comment